Jumat, 18 Februari 2022

YSEALI, Tenangnya Homestay di Cambridge, New England

Salah satu yang menarik dari Program YSEALI adalah kita akan tinggal di keluarga asli yang ada di Amerika Serikat, jadi kita akan mengalami langsung pengalaman menjadi orang Amerika, hehe. Ketika saya bercerita kalau saya ditempatkan di Boston, banyak sekali tanggapan positif dari orang-orang yang saya ajak bicara, mulai dari orang-orang Kedutaan Besar Amerika, Kedutaan Besar Indonesia di Amerika, bahkan sampai orang-orang di jalan, iya, agak sedikit mengherankan memang kenapa saya ajak ngobrol orang di jalan, hehe.

Rumah yang saya tinggali selama sebulan
di Program YSEALI, cantik ya
Jujur saja ini pengalaman pertama saya menginjakan kaki ke negeri Paman Sam, sangking saya senangnya jadi norak, haha. Apalagi semua biaya perjalanan ditanggung semua oleh Pemerintah Amerika dan semuanya diurusin, aahhh, kalau dulu cuma bisa bilang, Bahagia sampai Papua, sekarang sudah bisa bilang, bahagia sampai Amerika, hehe. Terimakasih YSEALI!

Selain mengikuti program magang kerja di perusahaan yang saya minta, saya dan teman-teman perwakilan ASEAN lainnya, bisa merasakan langsung kehidupan masyarakat Amerika dengan cara homestay dengan keluarga yang sudah dipilihkan. Saya sendiri walaupun kerja di Boston, saya tinggal dengan keluarga yang tinggal di Cambridge.

Cambridge sendiri merupakan bagian dari Kota Metropolitan Boston yang berada di bagian barat Sungai Charles. Ada tiga universitas tua di Amerika di sana seperti, Universitas Harvard, MIT dan RadCliffe. Karena adanya universitas-universitas itulah, kawasan itu diberi julukan kota pendidikan dan diberinama Cambridge untuk menghormati kota pelajar yang ada di Inggris. Jadi karena saya terpelajar makanya saya ditempatkan di sana, hehe. *Cocokology

Suasana perumahan di Cambridge

Perumahan yang ada di Cambridge sendiri termasuk perumahan yang elit, tertata rapi dan sangat mudah sekali dijangkau dengan transportasi. Saya tinggal dengan keluarga Jennifer Nahas, seorang Ibu dengan dua orang anak, Shopia dan Lucas yang sudah kuliah, ditambah lagi seorang anak kosan, Lena, yang kuliah di Kedokteran Harvard. Untuk Lena ada cerita tersendiri, ya selain dia pintar karena kuliah di Kedokteran Harvard, ada banyak rahasia yang menyeliputi si Putri keturunan Raja dari Syria ini, nah loh kebongkar sedikit, hehe, sabar ya!

Inilah penampakan rumah yang saya tinggali selama satu bulan, nyaman ya? rumah kayu tiga lantai, lengkap dengan basemen dan perapian, ditambah lagi taman di belakang rumah yang berisi tanaman bunga dan sayuran. Saya ketika sampai di rumah ini langsung jatuh cinta, dan satu lagi, warna rumahnya sesuai dengan warna partai pilihan, hehe, apasih.

Tapi memang rumah-rumah di Cambridge rata-rata seperti ini terbuat dari kayu yang disusun bertingkat-tingkat, hanya saja warna yang berbeda-beda dan hampir semua rumah tanpa pagar karena sudah dilengkapi kamera pengaman, dan ditambah lagi tetangga yang baik, lingkungan yang sangat ramah, jadi wajar kalau perumahan di sini termasuk yang punya nilai tinggi.

Bingkisan dari Globalimmersions.inc
Program homestay ternyata sudah jadi program hampir semua masyarakat di sini, jadi ketika saya dan teman-teman lainnya sampai di rumah, kami sudah disambut dengan surat dan bingkisan lucu dari koordinator homestay Boston, Global Immersion.inc. Surat-surat lengkap untuk hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan di rumah, transportasi dan jalur yang boleh digunakan, hingga jenis simcard HP yang bisa kita gunakan, lengkap. Jadi saya yang sangat awam dengan kota Boston dan sekitarnya, sangat terbantu.

Malah ada lombanya juga untuk mendapatkan bingkisan menarik lainnya dari mereka.

Bersama Ibu angkat saya
Beruntung sekali saya ditempatkan di Keluarga Nahas. Jennifer sendiri sebagai seorang single parent sangat baik ke anak-anaknya, termasuk saya dan Lena yang termasuk pendatang di rumahnya. Saya dan Lena juga termasuk dengan mereka karena beragama Islam. Tapi yang bikin terharu Ibu angkat saya ini bela-belain belajar untuk menyiapkan makanan halal, jadi saya sangat-sangat terjamin makan, walaupun ternyata si ibu lagi program diet, jadilah rasa masakannya gitu deh, tapi pilihannya, saya makan masakannya atau pilih makan Salad yang isinya daun-daun saja, makaaaaa, saya pilih...... masakan ibu, hehehe.

Selain orang ada lagi penghuni rumah, kucing lucu bernama Bubbles, tapi sering muncul kalau sedang lapar saja, persis, ya persis saya, haha.

Ada banyak cerita seru di rumah, nantinya saya akan ceritakan di postingan-postingan selanjutnya.

Welcome to Nahass Home, Have a good day!

YSEALI, Artists For Humanity, Cara Kreatif para Seniman Boston

Bekerja di Artists for Humanity beberapa bulan lalu menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi saya, karena bisa bekerja di perusahaan yang memiliki konsep kreatif yang menjadi impian saya selama ini. Artists for Humanity (AFH) adalah perusahaan kreatif yang berada di Boston, Massacussets, Amerika Serikat.

Kegiatan bersama pelajar yang mengambil program 3D

Perusahaan sosial ini bermula pada 1991 ketika Susan Rodgerson sebagai Founder dan Artistic Director bertemu dengan anak-anak muda di sekolah yang memiliki kemampuan di bidang seni terutama melukis. Tetapi mereka belum yakin dengan kemampuan mereka bisa menjadi salah satu karier di masa depan.

Bersama Susan Rodgerson, Founder AFH
Susan mengajak mereka, terutama Rob Gibbs dan Jason Talbot yang berumur 14 dan 15 tahun untuk membuat proyek bersama dan menghasilkan. Pada akhirnya mereka membentuk Artists for Humanity untuk mewadahi, memberi tempat dan kesempatan yang sama bagi anak-anak muda yang memiliki kondisi yang sama dengan mereka.

Hingga sekarang Artists for Humanity mengajak anak-anak muda bekerjasama dengan mentor untuk membuat karya-karya kreatif untuk menyelesaikan masalah yang ada di lingkungan dan juga memenuhi permintaan klien. Menggabung proses kreatif untuk perubahan sosial dan juga membantu perubahan hidup secara finansial untuk anak-anak muda.

25 Tahun sudah, hampir 3.000 anak muda yang sudah pernah berkerja dan menjangkau hingga 12.000 anak muda dalam kegiatan seni dan wirausaha. Semua berasal dari sekolah yang ada di Boston, dari berbagai jenis kulit, jenis kelamin dan berbagai bahasa.

Setiap Selasa hingga Kamis, anak-anak muda terutama anak sekolah, begitu sekolah usai mulai pukul tiga hingga pukul enam sore, mereka bisa magang di Artists for Humanity. Mereka membuat karya seni, seperti lukisan, kolase, 3D, desain grafis, video, dan foto.
Bersama mentor dan pelajar, berbagi cerita tentang Piyoh dan Indonesia
Kegiatan di Studio Melukis
Rob Gibbs, Mentor Painting
Nantinya hasil karya mereka akan dijual atau disewakan ke perusahaan-perusahaan yang membutuhkan karya seni, dan anak-anak muda yang karyanya dibeli atau disewa akan mendapatkan komisi. Selama magang mereka akan didampingi oleh mentor, belajar untuk menghasilkan karya-karya yang memiliki kualitas yang layak jual. Menariknya mentor di sini tidak memberikan instruksi atau perintah, tetapi mengajak anak-anak muda untuk diskusi dan berpikir secara ilmiah, karena yang digunakan adalah teknik STEM (Science, Technology, Engineering and Mathematics).

Secara proses, Artists for Humanity tidak hanya membantu finansial anak-anak muda di Boston, tetapi juga memotivasi mereka untuk menyelesaikan masalah pendidikan mereka. Banyak yang akhirnya termotivasi untuk menyelesaikan pendidikan mereka dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dengan motivasi yang positif.
Salah satu outlet AFH di Boston
Ada kurang lebih 40 pekerja tetap yang ada di Artist for Humanity, mulai dari direktur, mentor, finansial, manajemen dan development, mentor 3D, mentor melukis, mentor desain grafis, mentor fotografi dan mentor animasi. Semuanya terkumpul dengan kekuatan mimpi dari seorang Susan. Dia berkata, "lakukan hal yang positif untuk orang lain dan menyebarkannya, dan keajaiban akan datang."

Selain belajar, saya dapat kesempatan mengajarkan anak-anak muda yang sedang magang di Studio 3D untuk mengenal Aceh dan Indonesia melalui Kelas Kreatif yang biasa saya lakukan dengan teman-teman The Leader. Kami membuat Piyohtoys dengan bahan kokoru paper yang saya bawa dari Indonesia.
Mereka belajar bagaimana membuat karakter pribadi dengan bahan kertas dan mengenal Indonesia melalui karakter yang saya buat.Ternyata hasil karya yang kami buat membuat kami mengenal Indonesia dan Amerika lebih dekat, dan yang menariknya, Susan, Direktur Artists for Humanity dan Rich Mark, Direktur Marketing tertarik dengan konsepnya dan menunggu untuk penjualan produk tersebut ke jaringan internasional, wow! jadi tambah semangat ini.
Bersama Laurence, supervisor saya dan Susan, Founder AFH di acara Farewell party

YSEALI, Anak Muda Aceh Ini Wakili Indonesia Ikut Program Profesional ke Amerika

BANDA ACEH — Pemilik Piyoh Design Hijrah Saputra, akan terbang ke Amerika untuk mengikuti Program  The Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI) Profesional Fellows Economic Empowerment Fall 2017 mewakili Indonesia.


Hijrah dipilih mewakili 10 negara ASEAN setelah melalui proses seleksi berkas dan wawancara. Setelah melewati seleksi sekitar 300 orang, akhirnya terpilih enam peserta mewakili Indonesia.

“YSEALI adalah program bergengsi yang diselenggarakan US Ambassy untuk memberikan kesempatan kepada professional-profesional muda di 10 negara ASEAN. Para peserta akan belajar dan merasakan langsung selama enam minggu berhubungan dengan para pekerja professional di Amerika, baik di pemerintahan, lembaga nonpemerintah, organisasi, dan bisnis pribadi,” kata Hijrah kepada portalsatu.com, Kamis, 5 Oktober 2017.

Selain merasakan bekerja dan membuka jaringan langsung dengan dunia internasional kata Hijrah, para delegasi akan tinggal langsung di rumah salah satu keluarga yang ada di sana, untuk belajar dan sekaligus merasakan hidup sebagai warga Amerika.

Program ini dilaksanakan mulai 10 Oktober hingga 17 November 2017 yang dilaksanakan di beberapa Negara bagian di Amerika.

“Untuk permulaan semua delegasi akan berkumpul di Washington untuk mendapatkan pembekalan orientasi program selama dua hari, kemudian dilanjutkan ke negara bagian penempatan, selama satu bulan, yang diakhiri dengan konferensi seluruh delegasi kembali ke Washington,” ujar pengusaha muda asal Sabang itu.

Hijrah sendiri mendapatkan kesempatan bekerja di Artists For Humanity, salah satu perusahaan yang bergerak di bidang kreatif di Boston, Massachuset.

Hijrah berharap Program YSEALI Profesional Fellows ini bisa menjadi media belajar bersama artis-artis di Amerika dan membuka jaringan dengan Pemerintah Amerika, terutama untuk pengembangan dunia kreatif di Sabang dan Aceh secara umum.

“Dan nantinya semakin banyak terbuka kesempatan untuk generasi muda professional Aceh lainnya yang berkesempatan belajar di Amerika,” kata Hijrah.

Selain Hijrah Saputra dari Aceh, lima profesional muda Indonesia lainnya yang lolos program ini yaitu Tisha Rumbewas, pemilik dan penggagas Sagu Foundation dari Papua; Nasarudin, penggerak Euronesia Sulawesi Selatan; Vidya Spay, dosen dan arsitek dari Solo; Annisa Hasanah, penggagas Ecofunopoly dari Bogor dan Muhammad Romdoni; penggerak KUSP Panyawungan dari Garut.[]

Sumber : https://portalsatu.com/pengusaha-muda-aceh-ini-wakili-indonesia-ikut-program-profesional-ke-amerika/

Plushindo, Cara Tuli Peduli Konservasi Hewan Langka Indonesia

Sudah sebulan lebih saya bekerja membantu istri saya dan teman-teman Tuli/tuna rungu Fingertalk dalam kegiatan Plushindo di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Plushindo sendiri adalah boneka-boneka satwa langka Indonesia yang diproduksi oleh teman-teman Tuli yang nantinya akan menjadi bahan edukasi untuk anak-anak Indonesia terutama yang berada di dekat dengan habitat hewannya.

Team Plushindo
Awalnya saya kesulitan bekerja dengan teman-teman Tuli, karena untuk berkomunikasi dengan mereka saya harus belajar Bahasa Isyarat. Untungnya saya bekerja dengan istri saya sebagai Program Director, bisa menyampaikan apa yang saya maksud kepada teamnya dengan baik. Saya sempat heran, kenapa istri saya mau bekerjasama dengan teman-teman Tuli/tuna rungu, tingkat kesulitannya cukup tinggi, mendingan ngegosip atau ngomenin status orang di social media, rasanya itu lebih gampang. Dasar istri saya orang yang sangat sosialis, dia bilang,”ada kebahagiaan tersendiri bila kita bisa membantu dan membagi kebahagiaan buat orang yang membutuhkan, daripada menghabiskan energi untuk menyebarkan kebencian dan iri hati di social media.” Beuh, calon doctor emang beda.
Istri dan Lutfi (Team Plushindo)

Memang dilihat dari team Tuli yang ada di Plushindo punya cerita-cerita yang berbeda-beda dan menarik, lebih seringnya membuat saya lebih mensyukuri dengan apa yang saya miliki saat ini. Mereka kebanyakan datang dari keluarga yang kurang mampu, kebanyakan dari mereka juga menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Mereka berjuang dengan keterbatasan yang mereka miliki tidak untuk kepentingan pribadi tapi demi keluarga mereka. Ternyata ini yang memotivasi istri saya untuk terus berinovasi agar teman-teman tuli bisa terus berdaya, ah saya jadi tambah semangat.

Karakter di Plushindo
Saya di dalam Team Plushindo sebagai Creative Director. Orang yang mendesain karakter-karakter binatang langka Indonesia. Saya mencoba membuat desain yang bisa menarik perhatian anak-anak tetapi juga tidak menyusahkan team tuli untuk memproduksinya. Akhirnya jadilah Othan, Modi, Gatra, Ano, Peny dan Baja. Untuk awal ini kami memilih hewan-hewan yang mulai langka dan mewakili setiap pulau yang ada di Indonesia, Gatra (Gajah Sumatera) dari Sumatera, Othan (Orang Utan Kalimantan) dari Kalimantan, Baja (Badak Jawa) dari Jawa, Peny (Penyu Hijau) dari Bali, Modi (Komodo) dari NTT dan Ano (Anoa) dari Sulawesi.

Ternyata kerja dengan teman-teman tuli menyenangkan, ada beberapa hal yang menarik ketika saya bekerja dengan team tuli. Pertama, mereka berkerja sangat focus, karena mereka tidak terganggu dengan suara-suara lain termasuk musik, jadinya mereka akan bekerja hingga selesai tanpa gangguan suara apapun. Kedua, mereka selain focus, prioritasnya bekerja tanpa bergosip, karena mereka berbicara dengan menggunakan tangan atau jari, jadi tidak memungkinkan berisyarat selagi bekerja, kerjanya diselesaikan terlebih dahulu baru mereka berisyarat. Ketiga, mereka walaupun bekerja sesuai dengan yang kita inginkan, ternyata mau memberikan masukan untuk membuat produk yang kita kerjakan Bersama ini menjadi lebih baik, malah kami yang jadinya belajar dari mereka, ah senangnya.




Pernah suatu hari, Pak Agus, salah satu penjahit tuli, selesai menjahit, berdiri, beliau berkata, “alhamdulillah, selesai, semoga Plushindo, Fingertalk, Dissa dan Hijrah sukses semua,” dengan menggunakan Bahasa Isyarat yang indah. Nyess, rasanya ada rasa haru yang besar ketika melihatnya, ini yang dibicarakan oleh istri saya sebelumnya, merembes mili.

Tugas kami belum selesai, sudah lima karakter yang sudah jadi, masih sisa satu karakter lagi dan setelahnya masa edukasi ke anak-anak yang ada di dekat habitat hewan langka tersebut. Mohon doa dan dukunganya ya, jangan lupa follow ig : @plush_indo

Salam.

Plushindo Juarai Kompetisi Wirausaha Sosial di Jepang

Liputan6.com, Jakarta Anak-anak muda asal Indonesia berhasil menjuarai kompetisi wirausaha sosial yang digelar di Jepang. Presentasi tentang upaya pemberdayaan komunitas tuli di Indonesia membuat tiga anak muda asal Indonesia menjuarai Daigaku SDGs Action Award 2019 pada 20 Februari 2019 di Tokyo.


Dissa Syakina Ahdanisa, Hijrah Saputra, dan Muhammad Rizqi Ariffi dari Tim Fingertalk mempresentasikan program Plushindo. Ini adalah program pemberdayaan komunitas tuli atau tuna rungu Indonesia untuk membuat produk boneka yang membantu konservasi hewan langka Indonesia.

Dissa, Hijrah, Rizqi mempresentasikan program tersebut di hadapan juri setelah berhasil melewati tahap seleksi berkas dan wawancara via telepon. Siapa sangka, program Plushindo yang mereka presentasikan di depan 10 juri yang berasal dari The Asahi Shimbun, JAL, Sumitomo Metal Mining dan JICA bisa menang.

Program yang digagas tiga anak muda yang sedang kuliah di Negeri Sakura ini berhasil mengalahkan tim-tim lain dari universitas-universitas ternama Jepang. Termasuk mengalahkan tim yang berasal dari Tokyo University, Kindai University dan Kyushu University.

"Kami tidak menyangka bisa memenangkan lomba ini, kami hanya berharap bisa menyuarakan teman-teman Tuli terutama di Indonesia bisa setara dan mendapat kesempatan yang sama dengan teman-teman yang lain," tutur Hijrah dalam pesan teks dengan Liputan6.com ditulis Rabu (27/7/2019).

Hadiah 500 ribu yen
Berhasil menjadi juara 1, Tim Fingertalk diganjar dengan hadiah sebesar 500.000 yen atau setara dengan Rp63.900.000 (kurs Rp126,38/JPY per Selasa 26 Februari 2019).
Uang ini digunakan untuk pengembangan produk boneka satwa langka Indonesia. 

Daigaku SDGs Action Award adalah program yang diadakan oleh perusahaan media cetak terbesar di Jepang, Asahi Shimbun, untuk mahasiswa yang kuliah di Jepang dengan ide untuk mendukung program-program Sustainable Development Goals (SDGs).

Sebelum ada lomba ini, tiga anak muda ini sudah memiliki langkah nyata membantu memberdayakan orang tuli di Indonesia.

Bersama dengan tim Fingertalk lainnya, telah membuka empat buah cafe yang semua pekerjanya adalah teman-teman tuli dan penyandang disabilitas lainnya.

Tidak hanya berpusat di Tangerang Selatan, Fingertalk juga membantu teman-teman yang lain untuk menjalankan kafe di Poso, Sulawesi Tengah dan Kebumen, Jawa Tengah.

Sumber : https://www.liputan6.com/health/read/3904579/anak-muda-peduli-orang-tuli-juarai-kompetisi-wirausaha-sosial-di-jepang

Tim Fingertalk Indonesia Sabet Juara 1 Daigaku SDGs Action Award di Jepang

ACEHTREND.COM, Tokyo – Tim Fingertalk Indonesia yang terdiri atas Dissa Syakina Ahdanisa, Hijrah Saputra, dan Muhammad Rizqi Ariffi menyabet juara 1 Daigaku SDGs Action Award di Tokyo, Jepang. Tim ini terpilih menjadi salah satu dari 12 tim yang mempresentasikan idenya di depan dewan juri di Tokyo pada 20 Februari 2019.

Grand Prix Daigaku SDGs Action Awards 2019 Asahi Shimbun Japan
Dissa Syakina Ahdanisa melalui keterangan tertulis yang diterima aceHTrend mengatakan, Tim Fingertalk merupakan satu-satunya tim yang berasal dari Indonesia.
“Daigaku SDGs Action Award adalah program yang diadakan oleh perusahaan media cetak terbesar di Jepang, Asahi Shimbun, untuk mahasiswa-mahasiswa yang memiliki ide untuk membantu mendukung program-program Sustainable Development Goals (SDGs). 
SDGs adalah kesepakatan pembangunan baru yang mendorong perubahan-perubahan ke arah pembangunan berkelanjutan berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan untuk mendorong pembangunan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup.
SDGs diberlakukan dengan prinsip-prinsip universal, integrasi, dan inklusif untuk meyakinkan bahwa tidak akan ada seorang pun yang terlewatkan.  Memiliki 17 tujuan, seperti pemberantasan kemiskinan, tanpa kelaparan, kehidupan yang sehat dan sejahtera, pendidikan yang berkualitas, kesetaraan gender, air bersih dan sanitasi yang layak, energi bersih dan terjangkau, pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, industri, inovasi dan infrastruktur, berkurangnya kesenjangan, kota dan permukiman yang berkelanjutan, konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, aksi untuk perubahan iklim, konservasi ekosistem laut, konservasi ekosistem darat, perdamaian keadilan dan kelembagaan yang tangguh dan kemitraan untuk mencapai tujuan. 
“Tim Fingertalk terpilih dengan membawa pesan dari teman-teman tuli (tunarungi) yang berada di Indonesia. Selama ini Fingertalk fokus untuk pemberdayaan pemuda-pemuda yang memiliki kebutuhan khusus seperti tuli dan disabilitas lainnya,” kata Dissa, Kamis (21/2/2019).
Bersama dengan Tim Fingertalk telah membuka empat buah kafe yang semua pekerjanya merupakan tunarungu dan penyandang disabilitas lainnya. Tidak hanya kafe, Fingertalk juga membuka carwash dan workshop untuk membuat boneka satwa langka Indonesia.
Setelah presentasi di depan 10 juri, Tim Fingertalk berhasil terpilih sebagai pemenang utama, Fingertalk dipilih karena memiliki produk yang unik, tujuan yang jelas, dan membawa pesan inklusi dari dari Indonesia.
Atas pencapaian tersebut, Tim Fingertalk mendapat hadiah uang sebesar 500.000 yen, yang digunakan untuk pengembangan produk boneka satwa langka Indonesia. Hadiah diberikan langsung oleh Ichiro Ishida, Direktur Marketing Strategy The Asahi Shimbun Japan. 
“Tim Fingertalk berharap semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk berkarya dan menjalankan hidup,” kata Dissa.[]

Plushindo, Empowering Deaf People by Creative Design

I am Hijrah Saputra, first year student of master program in tourism and hospitality at Ritsumeikan Asia Pacific University (APU). I am also a graphic designer and from March 2018, I am taking the role of creative director for the “Plushindo” project. 

Plushindo is a social project of a social enterprise, Fingertalk, to empower the often marginalized and discriminated Deaf youths by training them to produce creative products, such as plush toys of endangered animals, that are used to spread awareness about animal conservation and inclusion. This project tackles issues such as unemployment, discrimination against people with disability and animal conservation in one creative solution, which made it very unique. 

Currently, Indonesia faces challenges of animals’ extinction due to habitat loss or illegal hunting. Many of the animals, such as Javan rhino, anoa and Komodo dragons, are endemic to Indonesia, and are forecasted to be extinct in the next decade. I believe that we must act now, and we must start from younger generation. Plushindo plushies are a way to spread awareness about the importance and urgency of animal conservation to the younger generation using attractive and fun mediums. 

Due to discrimination in the society, more than 74% of Deaf people in Indonesia are unemployed. Thus, through this project, my team and I are trying to break the stigma and create employment. Moreover, I learned to apply my skills and supported the Deaf to upgrade their skills, earn income and provide for their family.

Plushindo Crews
As the creative director, I was in charge of the designing and training process. I designed six different characters of endangered animals in Indonesia, which are orangutan, Sumatran elephants, Javan rhino, anoa, and komodo dragon. Once I completed the designs, I trained 20 Deaf youths to produce the plush toys or “plushies” based on those designs. Together, we made more than 600 plushies and distributed them to school children in six major islands in Indonesia.

The Characters


The Characters and their habitat

In addition to that, I also designed a small book to accompany the plushies, providing information about these endangered animals. I designed the books using language that are simple and easy to understand. I also used Indonesian Sign Language (BISINDO) in the book, so the children can understand more about the Deaf culture. This initiative connected Deaf youths and the children, and raised awareness since early age to hopefully eliminate discrimination against people with disability in the future.

After the production finished, I helped the team distributing the finished products through educational workshop. We visited schools and introduced the Deaf youths to the children, again, to raise awareness since young age. We used sign language to explain why all of us should love the animals. Furthermore, these plushies and books are also given as the token of appreciation to the conservation sites of the endangered animals. 

Plushindo goes to Riau, Pekanbaru
Plushindo team teach Indonesian Sign Language (BISINDO) to the school children
Plushindo goes to Pamulang, Banten
Plushindo goes to Balikpapan, East Kalimantan


Plushindo goes to Poso, Central Sulawesi



Plushindo and WWF Indonesia
Through this program, we have realized that the training can be scaled up as employment opportunities for Deaf youths, which led me to participate in Hult Prize competition. In December 2018, my team and I brought this idea to enter the competition of Hult Prize, the biggest social entrepreneurship competition in the world. We won APU campus round and four months later, we became the only team that represented APU in Tokyo regional summit. Our goal was to win the USD 1 million prize to train more Deaf youths and create 10,000 jobs. We were chosen one of the six finalists and received valuable feedback from the judges to scale up and create more sustainable impact.





Plushindo team and New Zealand Embassador for Indonesia
Plushindo Team with Mr. Deguchi, President of Ritsumeikan APU
Last March 2019, Plushindo also won the Asahi Shinbun SDG Action! Awards 2019, and became the first ever representation from APU to win the competition. Our team received the grand prix prize of JPY 500,000 and will utilize the fund to train more Deaf people in rural areas of Indonesia to give them more opportunities and financial independence.
Plushindo won Grand Prix SDGs Daigaku Action Awards Asahi Shimbun Japan 2019
Plushindo Team with Chief of Asahi Shimbun Japan
Plushindo team at Hult Prize Final Round in Regional Round Tokyo, Japan
Through this project, I can see how our skill can create bigger and more sustainable impact.